![]() |
Laporan |
Kemarin teman saya Pebby didatangi polisi. Dua mobil penuh
mengetuk pintu rumahnya. Pagi-pagi. Mereka membawa surat pemanggilan. Kasusnya,
soal status di media sosial.
Pebby adalah ibu rumahtangga yang resah dengan kondisi
bangsa inj. Seperti banyak emak-emak lain yang mulai melek politik.
Status-statusnya menyengat. Kadang hasil copypaste dari berbagai tulisan yang
beredar di medsos. Tapi senyengat-nyengatnya, ya sengatan emak-emaklah.
Rupanya ada orang yang tidak suka dengan emak-emak yang
mulai melek politik ini. Pebby dilaporkan ke polisi, ditangani oleh unit
Cybercrime. Entah siapa yang melaporkan, sampai saat ini tidak jelas. Pagi itu
juga dia diangkut.
Untung akhirnya dia bisa pulang setelah pemeriksaan. Tapi
bukan berarti kasusnya selesai. Dalam waktu hampir bersamaan, seorang dokter 74 tahun,
Sugianto Sastrodiwiryo juga mengalami nasib yang sama dengan Pebby. Lelaki gaek
yang gedeg dengan perilaku politik para elit ini selaku menuliskan kegalauan
hatinya di medsos.
Hasilnya, dia dilaporkan karena status-statusnya tersebut.
Polisi menangkapnya dan memeriksanya karena ada laporan.
Cukup? Belum. Kemarin para musisi melakukan demo di depan
KPK untuk menguatkan KPK terhadap langkah DPR yang hendak melakukan hak angket.
Dalam orasinya tentu saja ada kritik pada kinerja DPR.
Kita tahu sebagian inisiator hak angket DPR adalah anggota
dewan yang namanya disebut-sebut dalam kasus e-KTP. Jadi wajar saja jika orang
menyangka ada udang di balik bakwan dalam usaha hak angket itu. Plus sambel
kacang tentunya.
Nah, dua orang staf ahli DPR melaporkan para artis dan
musisi itu, antara lain Addie MS, Once, Sys NS, Renny Djayusman --dengan
tuduhan pencemaran nama baik lembaga negara. Kita tidak tahu sampai dimana
kasus ini sekarang.
Ada banyak pertanyaan besar di kepala kita, sejauh mana suara
rakyat dalam negara demokrasi ini bisa diteriakkan secara bebas? Tentu saja
kritis berbeda dengan ujaran kebencian. Berbeda dengan pelecehan.
Tapi mengamati status-status Pebby atau dr Sugianto
sepertinya itu sama dengan status-status banyak orang lainnya. Hanya cetusan
warga negara yang resah dengan kondisi bangsanya. Dr Sugianto misalnya, ikut
besuara mengrikritisi DPR yang dikerjanya dianggap jauh dari harapan.
Para musisi memberikan dukungan kepada KPK berhadapan dengan
hak angket DPR lalu dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik lembaga
negara. Ini benar-benar keterlaluan.
DPR adalah lembaga negara sebagai representasi demokrasi.
Mereka juga duduk di senayan sebagai wakil dari rakyat termasuk wakilnya para
artis dan musisi itu. Hanya orang kesurupan saja yang melaporkan ke polisi
suara rakyat yang mengkritik kinerja dan sepak terjang DPR. Ingat lembaga
negara itu namanya Dewan Perwakilan Rakyat. Bukan Dewan Perwakilan Kampret!
Di negara ini memang hukum adalah panglima. Tapi jangan
sampai juga justru menjadi alat memberangus aspirasi publik.
Kita berharap untuk kasus-kasus seperti ini kepolisian lebih
arif menanganinya. Bukan memakai kacamata kuda, pokoknya setiap laporan harus
diproses sampai pengadilan. Jangan sampai lembaga hukum yang menjadi harapan
publik ini digunakan orang untuk mematikan demokrasi.
Saya rasa untuk kasus-kasus seperti Pebby dan Dr Sugianto
kepolisian bisa bertindak sebagai penengah. Fungsinya bisa mirip seperti dewan
pers ketika ada sengketa antara media dengan pihak lain dalam sebuah berita.
Polisi bisa bertindak sebagai lembaga arbitrase. Pertemukan sang pelapor dan
yang dilaporkan. Bantu mereka mencari jalan keluar damai.
Jadi pada unit cybercrime kepolisian bisa dibentuk sebuah
tim penengah seperti itu. Fungsinya untuk menangani soal perselisihan status
medsos. Unit cybercrime sendiri akhirnya bisa lebih fokus dengan kejahatan
cyber lain yang jauh lebih membutuhkan penanganan. Kalau unit itu cuma
disibukkan mengurus laporan status-status medsos, bisa dibayangkan betapa ribetnya
mereka.
Nah, kalau nanti ada yang berselisih diantara masyarakat
karena status di medsos, polisi bisa mempertemukan keduanya. Minta mereka
mengulurkan jari kelingking. "Kita baikkan, ya...."
Jika semua pengaduan soal medsos diproses hukum, pertama itu
sama saja membunuh kebebasan berpendapat. Sekaligus ancaman bagi demokrasi.
Kedua, apa kepolisian nanti gak pusing ngurus status emak-emak yang mulai melek
politik? Atau rakyat biasa yang gedeg dengan perilaku politisi?
Demokrasi yang kita capai sekarang ini, adalah sebuah
anugerah. Sebagian memang ada yang kebablasan, dengan menyebar fitnah dan
nyinyiran kampungan. Tapi sebagian lain masih ok, kok. Jangan sampai karena
salah menangani, hukum berubah menjadi tangan-tangan tiran.
Gini deh, Pak Pol. Kita saksikan belum lama ini ratusan ribu
orang teriak-teriak di jalan berhamburan kata makian. Ganyang. Bunuh. Halal
darahnya. Kutil dan sebagainya. Tapi rakyat gak pernah dengar ujaran seperti
itu diproses polisi. Seolah kalau kasar, ya kasar aja sekalian.
Pada beberapa hal, publik juga jadi tidak tahu mana standar
sebuah status jadi ranah pidana. Soalnya banyak yang lebih serem-serem, sampai
memfitnah Presiden, tapi kok gak diapa-apain?
Aparat memang penegak hukum. Tapi tidak ada salahnya dalam
menjalankan tugas mendahulukan kearifan. Untuk kasus status medsos, dahulukan
saja musyawarah dari pada jalur hukum formal.
Saya tahu betul bagaimana rasanya berhadapan dengan masalah
hukum. Gak enak. Alhamdulillah, sampai saat ini memang belum ada orang yang
melaorkan saya ke polisi.
Tapi saya pernah dilaporkan ke Puskesmas, gara-gara saya
menolak diimunisasi kanker serviks. Untunglah mereka gak maksa.
0 komentar