![]() |
Ibu Kota Pindah |
Pemerintahan Jokowi tampaknya
serius mau melakukan boyongan, memindahkan ibukota dari Jakarta ke lokasi lain.
Memang belum ada kepastian akan dipindah kemana, tetapi kepala Bapenas Bambang
Brojonegoro mengatakan mungkin pada 2018 atau 2019 proyek besar-besaran itu
akan mulai dijalankan.
Sejak jaman Soeharto memang
wacana pemindahan ibukota telah mulai digulirkan. Alasannya Jakarta sudah
terlalu sumpek. Semua aktifitas ekonomi, birokrasi dan politik numplek di sana.
Waktu itu sempat ada pilihan
ibukota pindah ke Jonggol, Sentul, Jawa Barat. Sudah ada semacam grand design.
Bahkan Tommy Soeharto bergerak lebih cepat dengan mengusai tanah di sana.
Tapi belum lagi terlaksana,
Soeharto keburu jatuh. Padahal pada prosesnya, bapaknya Sony Wakwaw sampai
sekarang masih hilang di Jonggol.
Jonggol batal.
Pada jaman SBY wacana pemindahan
ibukota muncul lagi. Beberapa alternatif lokasi diwacanakan. Tetapi saat itu
tampaknya JK sebagai Wapres tidak setuju. SBY juga bukan tipe prmimpin yang
berani ambil resiko kerja besar tersebut.
Kini wacana itu muncul lagi.
Bahkan ketua Bapenas sudah mematok waktu kapan kerja besar itu dimulai : 2018
atau 2019. Jika dilhat dari karakter kepemimpinan, sepertinya bukan mustahil
gawe raksasa itu bakal dimulai era pemerintahan Jokowi. Presiden kita sekarang
bukan pemimpin peragu yang hobby nenteng gitar. Juga bukan karakter yang
kebanyakan teori.
Jika Jokowi meyakini sebuah
kebijakan itu penting, maka stret, stret, sret... jadi.
Wacana yang menguat ibukota bakal
pindah ke wilayah tengah. Mungkin ke Kalimantan. Palangkaraya di Kalteng
disebut sebagai lokasi yang paling pas. Letaknya di tengah pulau Kalimantan,
dengan kontur tanah datar dan tidak rawan gempa.
Tapi infrastruktur disana memang
masih minim. Makanya diperlukan kerja besar-besaran. Barangkali ibukota baru
benar-benar pindah pada akhir periode kedua pemerintahan Jokowi.
Fokus pembangunan pada wilayah
Indonesia Timur memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Harus diakui
kekayaan alam di Indonesia Timur selama ini banyak dirampok orang.
Masyarakat
Papua yang alamnya sangat kaya dibiarkan merana. Kakayaannya diangkut ke
Jakarta dan ke luar negeri. Selama ini hanya pemerintahan Gus Dur yang mencoba
menoleh ke Papua. Tapi Gus Dur dijatuhkan. Sedang Presiden lain boleh dibilang
abai terhadap nasib rakyat di Timur Indonesia.
Bukan hanya Papua,
wilayah-wilayah terpencil lain juga seolah tak tersentuh. Masyarakata di sana
dibiarkan seolah tidak punya pemerintahan. Pembangunan Indonesia selama ini
terkesan hanya untuk memakmurkan Jawa dan Indonesia bagian barat saja. Kekayaan
laut kita dirampok habis-habisan. Tapi ya, itu. Selama ini kita membiarkan
maling berkeliaran merajalela.
Wajar saja jika OPM sering
ngamuk. Mereka merasa tanahnya bak hamparan surga, tapi hidup seperti cowok
jones di pulau bidadari. Harga bensin di Papua mencapai Rp 60 ribu seliter,
sedangkan semen mencapai Rp 1,5 juta per sak. Tidak ada prasarana jalan untuk
menghubungkan satu lokasi dengan lokasi lainnya. Gimana ekonomi mau jalan, jika
sarana transportasi minim begitu.
Nah, Presiden Jokowi sadar, bahwa
pemerintah kita sering lalai terhadap masyarakat di ujung Indonesia. Jokowi
melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran. Jalan dibangun untuk
menghubungkan kota-kota di Papua. Kalimantan, Maluku, NTT dan Sulawesi juga tidak
lepas dari derap pembangunan, baik jalan, rel kereta, bendungan, bandara, dan
pelabuhan laut.
Komitmen untuk harga bensin sama
di seluruh Indonesia mulai berjalan. Hasilnya? OPM yang selama ini sering
ngamuk, kini malah berikrar menyatu kembali ke dalam NKRI. Rakyat di ujung
perbatasan mulai bangga mengakui bahwa mereka bagian syah dari NKRI. Mereka
tahu pemerintah Indonesia mengganggap mereka bagian dari tanah air ini.
Jelaslah jika ada orang bawa
bedil mengacau seperti OPM, sebetulnya mereka bukan melulu didorong oleh
semangat sparatis. Mereka hanya anak-anak bangsa miskin yang minta perhatian.
Sayangnya Jakarta terlalu egois dan serakah untuk sekadar berbagi dengan
mereka.
Jika ibukota jadi pindah ke
Kalimantan Tengah, ini adalah terobosan yang bisa dikatakan luar biasa. Setelah
sekian lama sibuk dengan wacana, mestinya harus ada pemimpin yang berani
merealiasikan boyongan besar-besaran ini. Meskipun, harus diakui pindahan
ibukota bukan seperti pindah kos atau rumah kontrakan. Pasti ribet dan memakan
waktu lama.
Mungkin saja tidak cukup satu
periode pemerintahan untuk kerja gila tersebut. Tapi melihat kondisi Jakarta
yang sumpek --mudah-mudahan tidak semakin sumpek setelah ada Gubernur baru--
sudah semestinya eksekusi pemindahan ibukota negara dilakukan.
Kedua, dalam skala politik,
mungkin saja ini langkah Pak Jokowi untuk memantapkan dirinya menjabat dua
periode. Soalnya, kalau proses pemindahan ibukota baru dilakukan 2018,
sementara 2019 ganti Presiden, bakalan ruwet. Kerjabesar untuk Indonesia
beresiko terbengkalai.
"Mas Bambang, apa manfaatnya
buat kita jika ibukota pindah ke Kalimantan. Jadi nanti kita akan dibilang
tinggal di pinggiran dong?," ujar Abu Kumkum, penjual minyak telon oplosan
di Depok.
"Jakarta dan Depok mah,
sudah maju kang Abu," jawab Bambang. "Kalau nanti di Papua,
Kalimantan atau Sulawesi kemajuannya mirip Jakarta, kan anak-anak sampeyan
tidak perlu lagi harus bertarung di Jakarta untuk hidup layak. Mereka bisa
menyebar ke wilayah manapun untuk mengembangkan karirnya. Standar hidupnya bisa
sama di semua wilayah Indonesia."
"Wuihhh, Bambang kayaknya
mulai cerdas, nih," ledekku.
"Lho, betul toh mas? Aku
jauh-jauh datang ke sini, akhirnya cuma jadi bakul bubur ayam. Padahal
cita-citaku dulu jadi Polwan. Atau minimal jadi Direkturlah."
"Emang kalau ibukota pindah,
kamu bisa jadi Polwan?," selak Abu Kumkum. Bambang cuma nyengir.
"Ya, kalau gak jadi Polwan.
Jadi bidan juga gak apa-apalah," ujar Bambang.
"Kalau kamu Kum, mau jadi
apa?," tanyaku.
"Aku tetap mau dakwah mas.
Mau jadi ketua FPI di Palangkaraya..."
"Lho, kok?"
"Iya, biar aku nanti bisa
pakai sorban. Keren taooo..."
0 komentar