![]() |
Eko Kuntadhi |
Speedboat yang kami tumpangi
merapat ke sebuah dermaga kecil. Hari menjelang senja ketika matahari Papua
rebah di ujung laut. Sisa rintik hujan menyiratkan pelangi.
Di sepanjang anjungan kami
menyaksikan barisan orang berdiri berjajar. Begitu turun dari speedboat, kami
disambut dengan tetabuhanan tifa bernada riang. Seseorang bercelana pendek
meniup seruling. Yang lainnya menari dengan goyangan khas Papua.
Saya yang tadinya sedikit pusing
akibat gelombang laut, mendadak bersemangat. Melihat kegembiraan membuncah di
wajah semua orang dan musik yang mengajak bergoyang, siapa yang bisa tahan?
Saya yakin anggota rombongan lain juga merasakan suasana yang sama.
Anak-anak desa dengan pakaian
seadanya berlarian mengiringi langkah kami. Mereka mengajak kami ke sebuah
lokasi yang letaknya agak di tengah desa. Di tanah seluas kira-kira 300 meter
persegi itu ada bangunan baru. Dalam bangunan itu tersimpan tiga rak besar
berisi baterai-baterai lithium.
Di belakang bangunan tersebut ada
panel-panel untuk menyerap sinar matahari yang akan dikonversikan menjadi energi
listrik. Ini adalah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang diperuntukan
bagi masyarakat terpencil, milik Kementerian ESDM. Ketika bulan lalu saya
sempat bertemu Menteri ESDM Ignatius Jonan di rumah dinasnya, dia memang
berapi-api ketika menerangkan proyek listrik untuk wilayah terpencil ini.
“Semoga sebentar lagi seluruh wilayah Indonesia sudah bisa terang,” ujarnya
waktu itu.
Menurut hitungan Jonan, ada 2.500
desa dengan 250 ribu orang yang sampai sekarang belum tersentuh listrik.
Makanya dia begitu ngotot untuk menggelar program agar semua rakyat Indonesia
bisa merasakan manfaat energy.
Nah, di desa Amdui apa yang
dibicarakan Jonan kemarin dibuktikan. Masyarakat desa Amdui, Raja Ampat, Papua
Barat selama ini memang belum tersentuh listrik. Lokasi desa itu sendiri ada di
kepulauan kecil. Berjarak sekitar dua jam perjalanan laut dari Sorong.
Mengarungi laut Papua yang bisa membuat isi perut bergejolak.
Selama ini memang warga Amdui
hidup dalam kegelapan. Bayangkan, ada rakyat sebuah bangsa yang telah merdeka
selama 72 tahun, baru kali ini bisa menikmati sinar lampu neon. Padahal kita
sudah berganti Presiden sampai 7 kali. “Sampaikan terimakasih kami kepada Pak
Jokowi. Kami tidak lagi hidup dalam kegelapan,’ ujar Anton Bukarpiopal, kepala
desa Amdui.
Lain lagi dengan yang dikisahkan
Willem, penduduk asli desa Amdui. “Saya baru liat lampu listrik sekarang,”
ujarnya. “Biasanya saya baru bisa melihat lampu kalau ke Sorong,” ujarnya lagi.
Kini dua minggu sudah listrik di kampungnya menyala dan Willem terlihat senang
melihat anak-anaknya yang asyik menghadapi buku pelajaran, malam itu.
Bukan hanya menerangi 108 rumah
di desa itu. Adanya pembangkit listrik itu juga menerangi jalan-jalan desa yang
sebelumnya gelap gulita."Biasanya kami memakai pelita," ujar Crhristina
Olla, penduduk asli. "Dulu kalau malam disini gelap. Segelap kulit
kami," candanya. Saya tertawa mendengar celotehannya.
Sebelum proyek PLTS ini berdiri
Willem, Christina dan masyarakat Amdui harus mengeluarkan biaya minimal Rp
7.000 per malam untuk membeli minyak tanah. "Kalau tidak ada minyak, kami
seperti hidup di gua. Gelap sekali," cetusnya.
Minyak tanah sendiri hanya dapat
dibeli di Sorong. Dengan beroperasinya PLTS berkekuatan 30 KW yang
terdistribusi secara rata memasuki rumah-rumah warga, Willem cukup membayar
iuran Rp 20.000 sebulan, yang pengelolaannya diserahkan dalam musyawarah warga.
Dana iuran itu digunakan untuk
pemeliharaan PLTS. Beberapa penduduk desa dilatih menjadi operator yang
bertanggungjawab memelihara pembangkit itu. Artinya, iuran warga Rp 20 ribu
juga untuk membayar tenaga operator selain untuk biaya operasional tektis.
"Kami memang berharap
masyarakat bisa menjaga asetnya sendiri," ujar LN Puspadewi, Kasubdit
Pengawasan Pembangunan Infrastruktur Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konvensi
Energi Kementrian ESDM.
Malam mulai merayap. Ketika
lampu-lampu mulai dinyalakan, saya menyaksikan anak-anak yang sedang terlungkup
menghadapi buku di sebuah rumah. Tampaknya mereka sedang asyik mewarnai.
Sdangkan Willem dan beberapa rekannya duduk-duduk di pelataran. Mulut mereka
tidak henti mengunyah sirih dicampur dengan buah pinang dan kapur.
Sinar bulan yang kelabu karena
cuaca mendung tidak membuat Desa Amdui menjadi gulita. Pijar lampu kini
menyinari kehidupan mereka. "Terimakasih Bapak. Desa Amdui kini sudah
seperti Jawa. Sudah terang semua sekarang,” ujar Willem.
Apakah kamu pernah begitu bahagia
hanya untuk sebuah neon yang menyala, seperti Willem dan tetangganya di desa
Amdui?
0 komentar